INDONESIAN COMMERCIAL NEWSLETTER
April 2011
FOKUS
MASALAH SUBSIDI DAN KENAIKAN HARGA BBM
Setiap tahun dalam merancang RAPBN Pemerintah selalu dihadapkan dalam masalah pelik yaitu menentukan besarnya subsidi terutama subsidi untuk energi yang meliputi subsidi BBM dan listrik.
Penentuan besar subsidi energi ini bukan saja besar dampaknya secara ekonomi tapi secara politik, sehingga tidak mudah Pemerintah mengambil keputusan walaupun keadaan sudah mendesak.
Setiap tahun besarnya subsidi energi selalu berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat karena faktor harga minyak dunia yang terus berubah. Dalam rentang waktu 2006 - 2011, realisasi anggaran belanja subsidi berfluktuasi, dan secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp 129,8 triliun atau tumbuh rata-rata 17,2% per tahun, yaitu dari Rp 107,4 triliun (3,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2006, menjadi Rp 237,2 triliun (3,3 persen terhadap PDB) pada tahun 2011.
Sementara itu terhadap total belanja negara peranan subsidi mencapai sebesar 9.8% tahun 2011, sementara pada tahun 2008 ketika puncaknya krisis finansial global perannya mencapai hampir 30%.
Ketika harga minyak dunia mencapai puncaknya tahun 2008 yang telah mendorong krisis finansial dunia, besarnya subsidi mencapai puncaknya yaitu sebesar Rp. 275 trilyun atau hampir mencapai 30% dari total belanja negara, diantaranya yang terbesar adalah subsidi BBM Rp 139 trilyun, subsidi listrik Rp. 83,9 trilyun dan sisanya subsidi non energi seperti subsidi pupuk, pangan dll sebesar Rp 52,3 trilyun.
Subsidi BBM
Subsidi BBM, diberikan dengan maksud untuk mengendalikan harga jual BBM, sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat di dalam negeri, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini disebabkan harga jual BBM dalam negeri sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal, antara lain harga minyak mentah di pasar dunia, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Pada saat ini, BBM bersubsidi hanya diberikan pada beberapa jenis BBM tertentu, yaitu minyak tanah (kerosene), minyak solar (gas oil), premium, dan LPG tabung 3 kilogram. Dalam rentang waktu 2006-2011, realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp 65,5 triliun atau tumbuh rata-rata 15,1 persen per tahun, dari sebesar Rp 64,2 triliun (1,9 persen terhadap PDB) pada tahun 2006, menjadi Rp129,7 triliun (1,8 persen terhadap PDB) pada tahun 2011.
Peningkatan realisasi anggaran belanja subsidi BBM dalam kurun waktu tersebut antara lain berkaitan dengan perkembangan harga minyak mentah Indonesia (ICP), yang dalam periode 2006-2011 mengalami kenaikan sebesar USD30,7 per barel (47,8 persen), yaitu dari sebesar USD64,3 per barel pada tahun 2006 menjadi USD95,0 per barel pada tahun 2011.
Selain itu, peningkatan beban belanja subsidi BBM tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan volume konsumsi BBM. Dalam tahun 2011, volume konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan mencapai 40,5 juta kiloliter, atau naik sebesar 2,7 juta kiloliter bila dibandingkan dengan realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi dalam tahun 2006 yang mencapai 37,8 juta kiloliter. Peningkatan volume konsumsi BBM bersubsidi tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan belum dijalankannya program pengaturan pembatasan BBM.
Dengan kecenderungan semakin meningkatnya beban subsidi BBM dari tahun ke tahun, maka Pemerintah menganggap perlu melakukan langkah-langkah pengendalian, agar beban subsidi BBM tersebut tidak memberatkan APBN. Untuk itu, dalam periode 2006 - 2011, pemerintah telah melakukan beberapa langkah kebijakan, antara lain :
" pengalihan pemakaian minyak tanah bersubsidi ke gas (LPG) secara bertahap mulai tahun 2007; (
" meningkatkan pemanfaatan energi alternatif dan diversifikasi energi;
" melakukan kajian atas pembatasan kategori pengguna BBM bersubsidi serta pembatasan volume;
" pengendalian penggunaan BBM bersubsidi melalui sistem distribusi tertutup secara bertahap dan penyempurnaan regulasi. Selain berbagai kebijakan di atas, kebijakan lain yang sudah dilakukan pemerintah dalam rangka mengendalikan beban subsidi BBM adalah melalui penyesuaian harga jual eceran BBM bersubsidi.
Penyesuain harga BBM bersubsidi
Penyesuaian harga jual eceran BBM bersubsidi merupakan langkah terakhir yang akan dilakukan pemerintah, apabila beban subsidi BBM dipandang sudah memberatkan APBN dan akan mengganggu sustainabilitas APBN dalam jangka pendek maupun jangka menengah.
Dalam kurun waktu 2006 - 2011, pemerintah telah melakukan penyesuaian harga BBM sebanyak 4 kali, yaitu pada bulan Mei 2008, awal Desember 2008, pertengahan Desenber 2008, dan Januari 2009.
Pada bulan Mei 2008, rata-rata harga BBM bersubsidi dinaikkan sebesar 28,7 persen, sebagai akibat dari meningkatnya Indonesian Crude Price (ICP) yang pada periode Januari - Mei 2008 rata-rata mencapai USD 104,8 per barel, lebih tinggi USD 47,6 per barel dibandingkan dengan asumsi dalam APBN 2008 sebesar USD 57,0 per barel.
Sementara itu, sejalan dengan penurunan ICP, hinga mencap USD 38,5 per barel, maka dalam rentang periode bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Januari 2009, dilakukan penurunan harga BBM bersubsidi hingga tiga kali, yaitu masing-masing 8,3 persen pada awal Desember 2008 dan 10,9 persen pada pertengahan bulan Desember 2008, serta bulan Januari 2009 sebesar 8,1 persen.
Dalam tahun 2010 sampai dengan semester I tahun 2011, harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami perubahan.
Prospek kenaikan harga BBM 2011
Memasuki tahun 2011 harga minyak kembali meningkat dibanding rata-rata tahun 2010. Berdasarkan data dari Kementrian ESDM, sampai bulan Mei 2011 harga rata-rata minyak mentah Indonesia sudah mencapai US$ 110 per barel, smentara tahun 2010 harag rata-rata minyak mentah Indonesia baru mencapai US$ 74 per barel.
Jika kecenderungan harga tersebut tetap tinggi maka beban subsidi BBM akan semakin memberatkan keuangan negara. Dalam asumsi APBN-P 2011 harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun anggaran 2011 sebesar US$ 95 per barel. Dengan tingkat harga rat-rata sebesar US $ 110 selama lima bulan pertama 2011, dikhawatirkan akan mnyebabkan menggelembungnya subsidi.
Selama ini Pemerintah telah berupaya untuk mengurangi subsidi BBM tanpa menaikan harga misalnya dengan mengganti pemakaian minyak tanah ke LPG yang cukup berhasil. Namun upaya penghematan penggunaan BBM untuk otomotif yang merupakan pemakai terbesar BBM selama kurang begitu berhasil. Dengan selisih harga BBM bersubsidi dan BBM non subsidi yang cukup besar maka hampir tidak ada insentif bagi pemakai untuk beralih ke BBM subsidi ke BBM non subsidi.
Keadaan ini kemudian mendorong Pemerintah untuk mempertimbangkan kenaikan harga BBM jika harga minyak bumi terus meningkat. Menyadari struktur APBN yang banyak dibebani oleh anggaran untuk subsidi, kini di kalangan anggota DPR pun sudah banyak yang menyuarakan perlunya Pemerintah menyesuaikan kembali harga BBM subsidi. Artinya kenaikan harga BBM sudah mulai direstui oleh kalangan DPR yang biasanya menyuarakan anti kenaikan BBM. Mengingat kenaikan harga BBM lebih merupakan keputusan politik, maka diperkirakan Pemerintah akan memanfaatkan kondisi ini untuk menjajagi kenaikan harga BBM. Namun diperkirakan kenaikan tidak akan segera terjadi sampai akhir tahun 2011. Paling cepat pada awal tahun 2012 jika harga minyak bumi masih tetap tinggi Pemerintah akan berani menaikan BBM.