2008-2009 DATA CONSULT. All rights reserved.
INDONESIAN COMMERCIAL NEWSLETTER
Februari 2010

FOKUS


KREDIT SEKTOR MANUFAKTUR SAATNYA MENINGKAT TAHUN 2010


Kredit sektor manufaktur terus merosot

Sepanjang tahun 2009 kredit untuk sektor industri manufaktur terus menurun, padahal pengucuran kredit sektor lainnya terutama diparuh kedua tahun 2009 telah mulai meningkat kembali. Pada bulan Desember 2008 posisi kredit yang disalurkan oleh bank umum ke sektor industri manufaktur mencapai Rp 271 trilyun, kemudian menurun sehingga pada Desember 2009 posisi kredit sektor ini menjadi hanya Rp 247 trilyun. Sementara  total kredit yang disalurkan perbankan telah meningkat dari Rp 1.002 trilyun pada Desember 2008 menjadi Rp 1.437 trilyun pada Desember 2009 yang lalu.

Sementara kredit di sektor perdagangan terus meningkat dari hanya Rp 113 trilyun pada Desember 2004 menjadi Rp 301 trilyun pada Desember 2009. Walaupun menghadapi krisis finansial global sektor ekonomi lainnya masih mengalami kenaikan penyaluran kredit walaupun tidak begitu besar.

Sebenarnya selama 10 tahun terakhir semenjak dilanda krisis moneter pada tahun 1998, penyaluran kredit untuk industri manufaktur relatif hampir tidak berkembang. Data Bank Indonesia menunjukkan, porsi kredit industri manufaktur terhadap total kredit perbankan awal 2002 masih 37,6 persen. Namun, pada tahun-tahun berikutnya porsi kredit manufaktur menurun, hingga November 2009 hanya 17,2 persen.

Merosotnya kinerja industri manufaktur juga terlihat dari kontribusinya yang kian mengecil dalam menghasilkan produk domestik bruto. Pada tahun 2004 PDB sektor manufaktur mencapai 28.1% dan kemudian terus menurun sehingga pada tahun 2009 hanya mencapai 26,4%.

Penurunan kredit terbesar di sektor industri manufaktur terjadi pada bank asing dan campuran. Per Desember 2009. total kredit untuk sektor manufaktur di perbankan asing mencapai Rp 59,31 triliun. Jumlah tersebut menunjukkan penurunan sebesar 20,3% jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara penyaluran kredit manufaktur di Bank Pembangunan Daerah (BPD) justru tumbuh paling tinggi. Per Desember 2009. total kredit BPD untuk manufaktur mencapai Rp 1,146 triliun. Jumlah ini menunjukkan peningkatan sebesar 40,7% jika dibandingkan total kredit tahun sebelumnya untuk sektor yang sama sebesar Rp 814 miliar.

Bank BUMN dan Bank Swasta sama-sama  mencatatkan pertumbuhan tipis sebesar 4,4%. Hingga akhir tahun 2009. pengucuran kredit bank pesero untuk manufaktur mencapai Rp 533,9 triliun sementara bank swasta mencapai          Rp 92,74 triliun. Sementara kredit BPR untuk sektor tersebut tercatat sebesar  Rp 505 miliar naik 18,5% dibanding tahun sebelumnya.

Kredit macet manfaktur masih tinggi

Seperti telah banyak disoroti. sejak 1998 porsi kredit industri manufaktur terhadap total kredit perbankan terus  menyusut. Dalam beberapa tahun terakhir ini pengucuran kredit ke sektor industri manufaktur relatif lambat pertumbuhannya dibanding pengucuran kredit di sektor lainnya. Pihak perbankan masih terlihat enggan mengucurkan kredit kesektor ini karena diangap tingkat risikonya relatif tinggi. Sementara pihak pengusaha disektor ini pun tidak begitu bergairah mencairkan kredit dari sektor perbankan karena dianggap bunganya terlalu tinggi.

Keadaan ini telah menjadi lingkaran setan sehingga makin lama sektor perbankan makin menjauhi sektor manufaktur karena risiko kreditnya tinggi. Sementara itu sektor manufaktur makin lama makin menurun daya saingnya karena mesin-mesin pabriknya yang tua tidak mampu diremajakan dengan menggunakan bunga bank yang tinggi.

Salah satu indikator yang menjadi hambatan perbankan menyalurkan kredit ke sektor manufaktur adalah masih tingginya kredit macet (non-performing loans). Dalam lima tahun terakhir kredit macet sektor manufaktur tertinggi dibandingkan sekyor lainnya. Pada tahun 2005 dan 2006 bahkan mencapai diatas 10% yaitu 15.6% pada tahun 2005  dan 10.5% tahun 2006. Pada tahun 2009 meskipun tingkat kredit macet sektor ini  telah menurun yaitu sebesar 5%. namun dibandingkan sektor lain tetap terbesar.

Tren pelemahan sektor industri manufaktur sudah terlihat semenjak lima tahun terakhir.  Padahal pada saat bersamaan sektor perbankan terus memicu kredit sektor di konsumsi yang telah berhasil menyelamatkan perbankan dan ekonomi Indonesia pada umumnya selama krisis finansial global berlangsung dari tahun 2008 sampai tahun 2009. Sektor konsumsi di Indonesia merupakan sektor yang paling cepat pulih menghadapi terpaan krisis finansial global yang puncaknya terjadi selama semester II tahun 2008 sampai akhir semester I  tahun 2009.

Rendahnya pertumbuhan kredit manufaktur dikhawatirkan berdampak pada gagalnya sektor manufaktur memenuhi kenaikan konsumsi di tahun 2010. Dengan membaiknya perekonomian nasional  maka tingkat konsumsi juga diperkirakan akan naik. Dengan demikian apabila sektor manufaktur tidak mampu tumbuh mengimbangi permintaan domestik  maka produk-produk impor pun akan siap menguasai  pasar lokal. Apalagi jika arus barang impor menjadi semakin lancar terutama dari Cina semenjak diberlakukannya  perjanjian pasar bebas antara Cina dan negara ASEAN termasuk Indonesia (AC-FTA).

Penopang utama pertumbuhan ekonomi yang ideal adalah sektor konsumsi  yang didukung industri manufaktur. Namun lambatnya pertumbuhan kredit tahun ini bisa menghambat pertumbuhan industri manufaktur. Akibatnya industri manufaktur akan gagal memenuhi kenaikan konsumsi di 2010. Jika hal ini terjadi maka industri manufaktur akan makin terpuruk dan dijauhi perbankan. Dan jika hal ini berlangsung terus pada gilirannya akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi secara nasional karena dikhawatirkan sektor konsumsi tidak mampu lagi menopang pertumbuhan ekonomi apabila daya beli masyarakat berkurang akibat makin terpuruknya tenaga kerja di sektor manufaktur.

Untuk menghindari hal tersebut maka peranan perbankan sangat vital dalam merevitalisasi sektor manufaktur yang pernah menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di era Orde Baru terutama tahun 1980-1990'an.

Memang sektor perbankan bukan satu-satunya yang bisa berperan mengembangkan kembali sektor industri manufaktur. Ada hal lain yang mendasar seperti buruknya kondisi infrastruktur, ekonomi biaya tinggi, masalah perburuhan, dll. Namun perbankan mempunyai peran yang penting karena dampaknya bisa segera terlihat dalam jangka pendek.

Salah satu faktor yang selama ini dikeluhkan oleh para pengusaha adalah tingkat suku bunga yang tinggi, sehingga mereka tidak bergairah mendapatkan dana dari bank Sebenarnya jika melihat perkembangan dalam dua tahun terakhir  suku bunga perbankan untuk  modal kerja dan investasi telah jauh menurun dibandingkan kondisi lima tahun yang lalu. Dalam dua tahun terakhir suku bunga kredit untuk modal kerja berkisar antara 13-14% dan untuk investasi berkisar antara 12-13%.

Selama tahun 2009 suku bunga kredit untuk sektor manufaktur juga telah menurun, jika pada Desember 2008 suku bunga kredit rata-rata untuk sektor manufaktur mencapai 13,92% kemudian menurun selama tahun 2009 sehingga pada Desember 2009 suku bunga kredit untuk sektor ini  telah menjadi 11,81%. Masalahnya suku bunga tersebut dianggap masih kurang bersaing dibanding suku bunga kredit di negara pesaing Indonesia seperti Cina dan negara ASEAN lainnya.

Disamping itu pada tahun 2009 sektor industri manufaktur secara global juga sedang tidak bergairah karena rendahnya permintaan di negara-negara maju yang terkena krisis finansial, seperti Amerika Serikat, negara Eropa dan Jepang. Memasuki tahun 2010, ekonomi dunia telah mulai pulih sehingga permintaan terhadap produk manufaktur kembali meningkat. Dengan demikian peluang pasar ekspor untuk produksi manufaktur dari Indonesia akan kembali meningkat.

Saatnya megucurkan kredit bagi sektor manufaktur

Menyadari hal itu maka Bank Indonesia berusahaan mendorong perbankan nasional untuk meningkatkan pengucuran dana ke sektor manufaktur. Masalahnya sektor perbankan terlanjur memberikan stigma negatif kepada beberapa sektor industri manufaktur yang selama ini menjadi penyumbang devisa utama dari Indonesia. Sektor industri tekstil, sepatu, dan elektronik  dianggap kalangan perbankan sebagai sunset industry dan foot loose industry yang harus dihindari. Penetapan industri tersebut sebagai sunset industry dilihat dari pasarnya yang sudah mapan dan teknologi yang relatif juga tidak banyak berkembang.

Sementara cap sebagai foot loose industry karena mudahnya terjadi relokasi industri tersebut ke negara lainnya yang menurut perhitungan investor lebih menguntungkan. Hal ini yang menyebabkan industri tekstil, sepatu dan perakitan barang elektronik dihindari oleh perbankan yang tidak ingin industri yang dibiayainya tiba-tiba lesu karena terjadinya relokasi besar-besran ke negara    lain yang menawarkan iklim investasi yang lebih baik.

Keadaan ini tidak sepenuhnya benar, industri textil yang umumnya memiliki mesin yang sudah tua ternya masih tetap mampu menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa sektor yang dianggap tidak punya harapan oleh perbankan ternyata masih mampu menembus pasar ekspor ditengah ketatnya persaingan. Dengan demikian penilaian terhadap industri tersebut tidak bisa dipukul rata.

Untuk merubah penilaian perbankan maka Pemerintah maupun BI harus ikut berperan. Upaya Pemerintah memberikan fasilitas berupa subsidi bunga  untuk industri tekstil yang melakukan restrukturisasi mesin-mesin merupakan satu langkah untuk memutus lingkaran setan dalam pendanaan di sektor industri tekstil. Namun dengan prosedur yang rumit dan nilai bantuan yang terbatas maka skema yang ditawarkan Pemerintah belum bisa berjalan lancar. Sebenarnya dari pihak perbankan dibutuhkan lebih proaktif  untuk membuka akses pendanaan bagi industri manufaktur, karene selama ini pihak perbankanlah yang lebih menutup diri terhadap sektor manufaktur. Pihak industri sendiri berusaha mencari peluang pendanaan hanya saja dengan tingkat risiko yang ada sekarang suku bunga yang ditawarkan masih tinggi.

Skema pendanaan sektor manufaktur yang lebih luas melibatkan berbagai  pihak yang terkait industri manufaktur sudah waktunya diterapkan untuk membangun kembali sektor industri. Proses deindustrialisasi yang sudah ditenggarai sedang terjadi semenjak lima tahun terakhir tidak akan berhenti dengan sendirinya tanpa campur tangan semua pihak yang berkepentingan. Ditengah persaingan yang makin ketat maka setiap hambatan yang dihadapi sektor industri manufaktur seharusnya bisa diatasi, diantaranya akses ke sumber dana murah.

Ketika pasar ekspor  produk manufaktur mulai berangsur pulih dan ketika Indonesia kini dibanjiri oleh dana asing yang mencari tempat investasi yang menguntungkan di negara berkembang, maka sekaranglah kesempatan yang tepat bagi sektor perbankan untuk bisa mengkonversi dana yang beredar di sektor finansial dan pasar modal untuk masuk ke sektor riil. Bila sekarang ini tidak dilakukan maka momentum untuk membangkitkan kembali sektor industri manufaktur akan lewat begitu saja.

MONTHLY REPORT
INDONESIAN COMMERCIAL NEWSLETTER (ICN)
HOME            Laporan Utama          Fokus            Daftar Isi          Berlangganan   
Web Page Maker, create your own web pages.